Rabu, 03 Desember 2008

Secangkir Kopi Pahit

Langit kelam membentang di atas kota yang masih diwarnai hiruk pikuk kehidupan para insan hari itu. Kerlap-kerlip lampu nyaris di seluruh penjuru kota menggantikan pemandangan langit berbintang yang tak nampak karena tertutup oleh gumpalan awan. Samar-samar terlihat uap menyembul di antara hela nafas orang-orang disana sebelum akhirnya terkikis oleh terpaan angin. Cuaca yang begitu dingin membuat para pedagang sake manis dan lainnya yang hangat-hangat begitu ramai pengunjung.

Di antara para penghuni kota yang masih beraktivitas itu, seorang gadis dengan coat berwarna maroon dengan syal putih berjalan cepat-cepat agar sampai di rumah sesegera mungkin. Rambutnya yang panjang dan tergerai, melambai dengan halus mengikuti irama langkahnya. Dinginnya angin membuat kening, pipi, juga kedua daun telinganya serasa ditempeli dengan sebongkah es.

Ia mengikatkan syalnya lebih erat kemudian memasukkan tangannya ke dalam coat yang ia kenakan. Lalu kaki jenjang yang berbalut boots tinggi itu pun melangkah lebih cepat.
-
-
“Tadaima” ucap seorang gadis yang memasuki pintu sebuah flat tempatnya tinggal.

“Kakak pulaang!!” seru dua bocah cilik bersamaaan ketika gadis itu masuk. Gadis itu menyampirkan coatnya lalu menyambut kedua bocah tadi yang tengah berlari untuk memberinya pelukan. Lalu ia mendaratkan sebuah ciuman kecil di pipi adik-adiknya.

“Hari ini kalian jadi anak baik, kan?” tanyanya pada bocah kembar itu.

“Tentu saja” dua anak identik yang berpipi bulat dan berambut ikal itu menjawab dengan kompak. Kemudian dari ruang bagian dalam seseorang menghampiri mereka. Wanita paruh baya yang memiliki gurat-gurat disekitar mata serta bibirnya, dan kemilau rambutnya sudah memudar dan berganti menjadi rambut berwarna putih -uban.

“Kamu sudah pulang, Setsuna-chan” tanya wanita itu ramah.

“Terima kasih sudah menjaga mereka hari ini, nenek Chouko” kata gadis yang di panggil dengan Setsuna itu. Sementara kedua bocah tadi berlarian masuk lagi ke dalam.

“Tak apa. Orihime dan Shirayuki adalah anak-anak yang baik dan menggemaskan” jawab wanita yang berbalut sweater ungu dan rok panjang itu lagi, “Oh ya, apa kamu sudah makan? Kami sedang membuat nabe untuk makan malam” lanjutnya.

“Nabe? Aku mau!” seru Setsuna. Siapa yang mau menolak kelezatan nabe yang hangat di tengah cuaca dingin? Apalagi ditambah perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi.

Nenek pemilik flat itu memang selalu tahu yang terbaik untuknya dan bisa diandalkan. Beliau sering membantunya menjaga adik-adiknya yang masih kecil, sementara ia kuliah dan bekerja. Beliau juga memberi kelonggaran waktu baginya untuk membayar sewa flat Beruntung sekali ia bisa memiliki tetangga yang baik dan perhatian itu. Rasanya tidak cukup dengan terima kasih untuk membalas budi baik beliau. Tapi sayangnya beliau selalu menolak diberi apa-apa dengan alasan karena beliau menikmatinya.

“Nenek, aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan terima kasihku pada nenek” ujar Setsuna pada wanita itu dalam perjalanan mereka ke dapur.

“Sudah berapa kali kularang kamu mengatakannya?”

“Aku sayaaaang… sekali sama nenek” gadis itu bergelayutan pada lengan nenek Chouko.

“Aku juga senang punya cucu baru yang cantik dan menyenangkan sepertimu” kata nenek itu.
-
-
“Oyasuminasai, hime-chan” kata Setsuna pada bocah dengan baju hijau yang sudah terlelap, “Oyasuminasai, yuki-chan” lanjutnya pada bocah yang memakai baju merah muda yang juga sudah memejamkan matanya.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika mereka selesai dengan makan malam mereka. Setelah itu nenek Chouko pulang untuk mengurus kehidupannya sendiri, sedangkan si kembar minta ditidurkan oleh kakaknya. Setsuna pun menunda mengerjakan tugas demi kedua adik tersayangnya.

Kemudian ia beralih ke depan komputernya setelah memastikan bahwa dua malaikat mungil itu sudah menuju ke alam mimpi mereka yang indah. Ya, biarlah mereka menikmati masa kanak-kanak mereka yang menyenangkan.

Cukup ia saja yang menikmati kepahitan hidup. Terutama setelah kedua orang tuanya memilih untuk berpisah saat ia baru menginjak usia sembilan tahun. Ia dan kedua adiknya yang saat itu belum lahir, diputuskan ikut ibunya. Dan entah mengapa semua menjadi tambah berat sejak saat itu. Pada akhirnya ialah yang harus menghidupi mereka bertiga, karena ibunya pergi meninggalkan mereka begitu saja.

Ya. Pergi begitu saja tak ada kabar berita atau pesan apapun.

“…” ia terdiam dalam geram setiap kali teringat akan ibunya. Tak ada makian yang cukup untuk mengungkapkan kekesalan hati gadis itu. Tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut karena stres yang menumpuk.

“Haa…” desahnya. Tidak ada gunanya untuk terus-terusan marah pada orang yang tidak jelas keberadaannya itu. Lebih baik ia berkonsentrasi untuk melanjutkan studinya juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup kedua adik dan dirinya sendiri. Apalagi minggu depan adalah waktu untuk membayar biaya kuliah.

Ia tak punya waktu untuk memikirkan yang tidak berguna. Lebih baik menikmati hidupnya dan –ah! Hampir saja kelupaan. Sekarang kan waktunya menikmati itu!
-
-
Gadis itu menatap pemandangan kota di malam hari dari beranda, berbalut mantel abu-abu yang hangat dengan secangkir minuman panas berwarna hitam pekat di tangan kanannya, yaitu kopi. Tapi tak sembarang kopi, melainkan kopi pahit.

Seakan melihat refleksi dirinya sendiri, dia berharap akan menjadi seperti secangkir kopi di tangannya itu. Yang walaupun pahit pada awalnya, suatu saat rasanya justru akan berbalik menjadi manis. Tapi ia belum tahu kapan hal itu akan datang ke dalam kehidupannya. Mungkinkah besok? Atau lusa? Sepertinya masih lama, mungkin ya.

Srupuuut…

Setsuna menyeruput sedikit demi sedikit kopi itu sebelum mendingin. Tak sengaja ekor matanya menangkap cahaya lampu dari flat di samping mereka. Ia terus mengalihkan pandangannya ke tempat itu

“Hn? Aneh! Bukannya di sebelah tidak ada penghuninya?”

BRAK!

Tiba-tiba pintu di flat sebelah terbuka. Kemudian seorang pemuda jangkung keluar menuju beranda sambil membawa cangkir dengan uap yang mengepul. Pemuda itu melihat pemandangan malam itu sambil meminum minumannya. Rambutnya yang tebal dan halus berkibar tertiup angin.

Tak sengaja ia mendapati Setsuna yang masih memandanginya. Mata mereka bertatapan segaris. Kemudian ia tersenyum simpul pada tetangganya itu sambil sedikit mengangkat cangkirnya sebagai pengganti salam. Gadis itu gelagapan dan mengangkat pula cangkirnya kemudian buru-buru mengalihkan pandangannya sambil menyembunyikan wajah dibalik cangkirnya.

“Ya Tuhan, tampan sekali!!” kata gadis itu dalam hati. Dan mereka pun melanjutkan menikmati minuman mereka dalam hening.
-
-
Suatu saat, rasa pahit akan berbalik menjadi manis. Mungkinkah besok? Lusa? Atau malah-
Saat ini?
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIN
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Author`s Note: Ya, ampun! Settingnya kok tau-tau pindah ke Jepun! Yah, jangan acuhkan cerita asal-asalan begini. Ini nggak jelas sudah tamat atau malah justru baru prolog. Murni hasil iseng aja kok. Makanya rada nggak nyambung, kan? Hehe. :3

Tidak ada komentar: